My Life Inspiration Part 2
Di dalam kamar, Dian menanyakan apa
yang dilihatnya kepada sang ibu. Ia masih kecil, wajar jika rasa ingin tahunya
tinggi. Ia belum paham benar keadaan keluarganya, karena bapak, ibu, Alya dan
Bayu selalu menampakkan kebahagiaan untuknya.
“Nggak ada apa-apa, nduk. Mbak Alya
kan mau lulus, bapak dan ibu terharu mendengarnya. Yasudah, sekarang tidur ya,
Dian” kata bu Yanti tersenyum.
Begitu percaya dengan perkataan
sang ibu, hari-hari yang dilalui Dian pun tak pernah terfikirkan ada yang
mengganjal lagi. Ia fokus dengan kenaikan kelas. Dian, sibungsu yang selalu
dianggap kecil oleh kedua kakaknya ini tak pernah sekalipun merasakan apa yang
dirasakan oleh kedua kakaknya selama ini.
Ketika ia beranjak usia 15 tahun,
ia tersadar dengan keputusan Alya. Keputusan yang menurut Dian sangat sensitif.
Dulu waktu SD, Alya sering menceritakan mimpinya, ia ingin menjadi dokter yang
selalu membantu orang. Apapun akan dilakukannya untuk menggapai cita-cita itu.
“Kenapa mbak Alya menikah muda? Mbak
Alya kan masih kuliah, terus mbak Alya nggak jadi dokter?” protes Dian yang
belum mengerti.
“Nduk, maafkan bapak dan ibu ya. Ini
bukan keputusan mbak Alya, ini permintaan bapak dan ibu” jawab pak Syafii.
“Maksud bapak?” sahut Bayu.
Bapak dan ibu mulai menceritakan
keadaan yang sebenarnya, 5 tahun yang lalu ketika Alya lulus SMP. Kebingungan melanda
ketiganya. Bagaimana caranya agar Alya dapat melanjutkan SMA? Bapak dan ibu
selalu menginginkan ketiga anaknya nanti berpendidikan tinggi untuk dapat
diamalkan kepada semua orang.
Saat itu, Alya akan dipinang lelaki
dari desa lain. Begitu kehidupan orang desa, perawan yang dirasa cukup untuk
menikah, bakal akan segera dipinang oleh lelaki. Begitu nasib Alya waktu itu. Namun
saat itu Alya menolak keras pinangan itu. Ia lebih mementingkan untuk masuk SMA
dan akan kuliah. Ia juga bekerja sambilan untuk tabungannya.
Hingga sekarangpun Alya masih
bekerja sambilan tanpa sepengetahuan Bayu dan Dian. Ketika akan memasuki bangku
kuliah, kebingungan masih melanda bapak dan ibu. Masuk ke dalam jurusan ternama
dan terkenal seperti kedokteran tidaklah mudah, membutuhkan biaya yang cukup,
apalagi kalau sedang praktik.
Dari awal kuliah hingga berjalan
dua tahun, pak Syafii dan bu Yanti telah banyak meminjam uang untuk segala
kebutuhan Alya. Tidak hanya Alya, kebutuhan Bayu dan Dian pula. Gaji seorang
guru dan penjahit tidaklah mampu untuk membayar hutang-hutang sebanyak itu.
“Mbak Alya yang memutuskan itu
semua. Mbak Alya yang menerima pinangan anaknya juragan Hasyim. Ini bukan salah
bapak atau ibu ataupun kalian, dek. Mbak ikhlas. Mbak tau kalau kalian pasti
kecewa dengan pilihan mbak Alya. Namun, mbak Alya tetep akan melanjutkan kuliah
sampai menjadi dokter” kata Alya meyakinkan kedua adiknya.
“Mbak Alya akan tinggal sama suami
mbak. Kita nggak bisa kumpul-kumpul lagi kayak dulu” kata Dian sedih.
“Dian, kamu tau juragan Hasyim kan?
Dia sedesa dengan kita. Mbak akan main kesini membantu ibu dan bapak, juga
menemani kalian” jawab Alya tenang.
Meski Bayu dan Dian masih belum
menerima keputusan Alya. Pernikahan itu tetap dilaksanakan. Sebenarnya ini
bukan kerugian bagi Alya, ini adalah keberuntungan. Betapa tidak? Anak lelaki
juragan Hasyim adalah pemilik sapi terbanyak di kabupaten ini, tersohor
kemana-mana dan dermawan. Zayn, begitu namanya. Sebenarnya ia tak ingin menikah
dengan Alya karena hutang kedua orang tua Alya. Namun ia telah menaruh perasaan
kepada Alya sejak dari SMP.
“Selamat ya nak Zayn dan Alya” kata
warga yang menghadiri acara tersebut.
Selang seminggu menikah, Alya dan
Zayn berpamitan kepada keluarga untuk meninggalkan desa dan akan menetap di
Bandung. Ini karena Zayn sendiri sedang membuka peternakan sapi disana dan
pendidikan Alya yang masih di Bandung.
“Mbak Alya beneran mau pergi?”
tanya Dian tersedu-sedu.
“Iya, Dian, Bayu. Mbak harus segera
lulus kuliah biar jadi dokter. Kalian nanti bisa main ke rumah mbak” jawab Alya
tersenyum.
“Dian nggak mau jauh sama mbak Alya”
tangis Dian.
“Nduk, mbak Alya tinggal di Bandung
kan untuk kuliah. Do’akan yang terbaik, jangan membuatnya sedih” pinta bu Yanti
memeluk Dian.
Berbeda dengan Dian. Bayu memilih
untuk tidak melihat kepergian Alya. ia terpukul dengan keputusan Alya yang
harus menetp di Bandung. Bayu selalu menganggap Alya adalah inspirasi hidupnya.
Ia yang paling dekat dengan Alya.
Namun apapun yang terjadi,
keputusan Alya dan Zayn tetaplah sama. Mereka tetap akan tinggal di Bandung. Namun
bukan berarti mereka akan melupakan desa kelahiran mereka. Hanya saja, mereka
ingin membangun keluarga dari nol, bukan dari warisan orangtuanya Zayn.
“Ibu dan bapak mengerti keputusan
kalian. Selalu kabarin bapak dan ibu ya. Kasih tau bapak dan ibu alamat kalian.
Biar nanti kalau ada rejeki, kami kesana menjenguk kalian” kata pak Syafii.
Mereka tersenyum manis.
To Be Continued...
Komentar
Posting Komentar